Sabtu, 06 Juni 2009

Mitos Candi Pornography Warisan Nenek Moyang

KATA PENGANTAR

Jika sosiologi lebih berorientasi kepada Eropa dan masyarakat kota, maka antropologi lebih berorientasi kepada masyarakat Asia dan Afrika serta daerah-daerah pedesaan dan pedalaman khususnya tentang adat budaya serta norma-norma hukum yang mereka pakai. Dalam makalah ini memang penulis ingin mengungkapkan dasar-dasar pelarangan pornografi, tapi masalah pornografi ini hanya sebahagian kecil saja dari bahasan antropologi yang begitu luas. Penulis tertarik menulis tentang pornografi ini karena polemiknya sampai hari ini belum barakhir.
Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pornografi (selanjutnya UU Pornografi) menimbulkan kontroversi yang luas dalam berbagai kelompok masyarakat Indonesia dan penolakan oleh beberapa kelompok budaya tertentu. Kalau kita membaca teks UU Pornografi ini, apa yang jelas dalam teks itu hanyalah sanksi dan hukuman. Sementara itu apa yang tidak jelas adalah ketentuan mengenai apa yang dilanggar dan mengapa suatu tindakan atau suatu barang atau benda dianggap mengakibatkan pelanggaran.
Dalam pasal 1 ayat 1 UU ini, dirumuskan suatu definisi yang mengartikan pornografi sebagai “materi seksualitas yang dibuat manusia” yang dikualifikasikan sebagai “dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat”. Dengan rumusan itu diandaikan bahwa secara publik dapat diketahui apa yang dapat membangkitkan hasrat seksual pada seseorang dan apa yang tidak, padahal pengetahuan tentang keadaan tersebut sulit sekali ditetapkan secara ilmiah, karena bersifat sangat subyektif. Kalau seorang pemuda melihat foto gadis pacarnya (dalam pakaian lengkap) kemudian muncul rasa rindu pada dirinya disertai imajinasi-imajinasi erotis dan hasrat seksual, apakah foto itu harus dibakar atau harus diserahkan kepada pemerintah daerah untuk dimusnahkan?
Kesulitan pertama dalam menghadapi teks : UU Pornografi ialah anggapan yang mendasari teks ini bahwa hasrat seksual adalah sesuatu yang buruk dan membahayakan keseimbangan masyarakat. Para legislator kita kiranya tahu juga bahwa hasrat seksual adalah suatu energi yang netral pada manusia, sama netralnya dengan nafsu makan, hasrat untuk jadi kaya atau terkenal, dan ambisi untuk berkuasa. Apalagi seksualitas itu, seperti ditunjuk dalam psikologi modern, merupakan energi yang jauh lebih luas dan menyebar dari sekadar seksualitas genital, karena bersifat sangat difus (seperti yang dibuktikan oleh Sigmund Freud dan Michel Foucault misalnya). Secara sederhana pun, kita akan paham bahwa tanpa hasrat seksual tidak ada kehidupan keluarga, dan tidak ada juga cinta antara manusia yang diekspresikan secara fisik, atas cara yang jauh lebih luas dan kaya daripada sekadar “persanggamaan”, yang berulang kali disebut dalam teks
UU ini. Tanpa hasrat seksual mungkin tidak akan ada kesenian dan kesusastraan yang demikian memperkaya peradaban manusia.
Kesulitan nomor dua ialah anggapan bahwa manusia memberikan satu respons yang sama kepada satu stimulus yang sama. Kalau para legislator kits meluangkan sedikit waktu membaca buku-buku teks yang sederhana dalam ilmu psikologi, antropologi, atau sosiologi, mereka akan segera paham bahwa tingkah laku manusia sangat sulit diramalkan, karena hubungan di antara stimulus dan respons bersifat serba terbuka, dan hal inilah yang membedakan manusia dari binatang yang hidup hanya berdasarkan insting. Dalam kehidupan instingtif hubungan antara stimulus dan respons bersifat tertutup, karena stimulus yang sama akan mengundang respons yang sama. Kalau Anda menumpahkan darah di laut, hiu akan segera datang. Kalau Anda membuang sampah makanan di halaman rumah, lalat akan segera merubung. Akan tetapi, kalau seorang pengendara sepeda motor tertabrak mobil dan terbaring dalam keadaan berlumur darah di trotoar, respons orang-orang yang melihatnya akan berbeda-beda: ada yang segera menolong, ada yang menonton dari jauh, dan ada yang segera menghindar karena takut berurusan dengan polisi.

Pekanbaru, Mei 2009

Muhammad Rakib
MISTIK WARISAN NENEK MOYANG DALAM KAJIAN ANTROPOLOGI
HUKUM TANTANGAN TERBERAT DALAM MENERAPKAN
UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI DI INDONESIA
Oleh : Muhammad Rakib

A. Pendahuluan
Sebelum ajaran Islam datang ke Indonesia, masalah pornografi sudah mendarah daging di dalam jiwa masyarakat, yang waktu itu beragama Hindu, Budha dan Animisme. Buktinya ada beberapa candi di Jawa yang memamerkan aurat, maaf “penis dan vagina”, khususnya pada Candi Sukuh.
Memahami Candi Sukuh secara utuh memang tidak cukup melihat kulitnya saja. Kita harus berani masuk hingga ke relung paling dalam. Tapi sanggupkah kita menyibak kesakralan candi paling erotis tersebut, agar kita bisa bermimpi tentang surga di sana :
1. Kajian Sejarah
Menurut sejarah, Candi Sukuh yang berada di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, itu dibangun pada sekitar abad ke-15 oleh masyarakat Hindu Tantrayana. Dalam catatan sejarah, candi ini merupakan candi termuda dalam sejarah pembangunan candi di Bumi Nusantara. Candi ini dibangun pada masa akhir runtuhnya Kerajaan Majapahit yang berpaham Hindu. Para pengikut setia Majapahit yang melarikan diri ke lereng Gunung Lawu, lantas membangun candi ini, setelah kerajaan mereka runtuh diserang Kerajaan Demak yang berpaham Islam.
Kompleks situs purbakala Candi Sukuh berada di ketinggian 910 meter di atas permukaan laut. Berhawa sejuk dengan panorama indah, candi ini mudah dicapai dengan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat, karena hanya berjarak sekitar 27 km dari pusat kota Karanganyar.

2. Kepercayaan terhadap legenda
Memasuki kompleks candi, kita akan bertemu dengan trap pertama yang pintu masuknya melalui sebuah gapura. Pada sisi gapura sebelah utara terdapat relief “ manusia ditelan raksasa” yakni sebuah ‘sengkalan rumit’ (candrasengkala) yang bisa dibaca “Gapura (9) buta (5) mangan (3) wong (1)” atau gapura raksasa memakan manusia, yang merujuk sebuah tahun yakni 1359 Saka, atau tahun 1437 Masehi, tahun dimana pembangunan gapura pertama selesai.
Di sisi selatan gapura juga terdapat relief raksasa yang berlari sambil menggigit ekor ular. Menurut candrasengkalanya berbunyi ‘Gapura buta anahut buntut’ (gapura raksasa menggigit ekor ular), yang merujuk pula tahun 1359 Saka atau 1437 Masehi.

3. Patung-patung cabul dan porno
Saat wisatawan menaiki anak tangga dalam lorong gapura, akan disuguhi relief yang sangat vulgar terpahat di lantai. Relief ini menggambarkan phallus yang berhadapan dengan vagina. Inilah yang kemudian menjadi trademark dari popularitas Candi Sukuh. Konon, laki-laki yang ingin menguji apakah kekasihnya masih perawan atau tidak, dapat datang ke tempat ini, dengan cara meminta si wanita melompati relief tersebut. ¬
Konon dulu, seorang suami yang ingin menguji kesetiaan istrinya, dia akan meminta sang istri melangkahi relief ini. Jika kain kebaya yang dikenakannya robek, maka dia tipe isteri setia. Tapi sebaliknya, jika kainnya hanya terlepas, sang isteri diyakini telah berselingkuh.
Meskipun memberi kesan porno, relief tersebut sesungguhnya mengandung makna yang mendalam. Relief tersebut sengaja dipahat di lantai pintu masuk dengan maksud agar siapa saja yang melangkahi relief itu segala kotoran yang melekat di badan menjadi sirna sebab sudah terkena “suwuk”. Relief ini mirip lingga-yoni, lambang kesuburan dalam agama Hindu yang mirip kemaluan laki-laki melambangkan Dewa Syiwa dengan istrinya, Parwati .
Trap kedua lebih tinggi ketimbang trap pertama dengan pelataran yang lebih luas. Gapura kedua ini sudah rusak, dijaga sepasang arca dengan wajah kosmis. Garapannya kasar dan kaku, mirip arca jaman prasejarah di Pasemah. Pada latar pojok belakang dapat dijumpai seperti jejeran tiga tembok dengan pahatan-pahatan relief, yang disebut relief Pande Besi.
Relief sebelah selatan menggambarkan seorang wanita berdiri di depan tungku pemanas besi, kedua tangannya memegang tangkai “ububan” (peralatan mengisi udara pada pande besi). Boleh jadi dimaksudkan agar api tungku tetap menyala.
Ini menggambarkan berbagai peristiwa sosial yang menonjol pada saat pembangunan candi ini.
Sedangkan trap ketiga merupakan trap tertinggi atau sering disebut sebagai trap paling suci. Trap ini melambangkan kehidupan manusia setelah mati, dimana jiwa dan roh manusia terangkat ke nirwana (surga). Konon, mereka yang punya beban hidup berat akan terlepas jika melakukan permohonan di puncak trap ketiga ini. Sebaliknya, segala permohonan yang diminta dengan niat tulus dan hati bersih juga akan terkabul.
Berbeda dengan candi-candi di Jawa Tengah pada umumnya, Candi Sukuh disebut telah menyalahi pola dari buku arsitektur Hindu Wastu Widya, yang menjelaskan bahwa bentuk candi harus bujur sangkar dengan pusat persis di tengah-tengahnya. Bagian tengah itu dipercaya sebagai tempat yang paling suci.

Seperti halnya trap pertama dan kedua, pelataran trap ketiga ini juga dibagi dua oleh jalan setapak yang terbuat dari batu. Di sebelah selatan jalan batu, pada pelataran terdapat fragmen batu yang melukiskan cerita Sudamala. Sudamala adalah salah satu dari lima ksatria Pandawa (Pandawa Lima) atau yang dikenal dengan Sadewa. Disebut Sudamala, sebab Sadewa telah berhasil ‘ngruwat’ Bathari Durga yang mendapat kutukan dari Batara Guru akibat perselingkuhannya.
Sadewa berhasil ‘ngruwat’ Bethari Durga yang semula raksasa betina bernama Durga atau Sang Hyang Pramoni kembali ke wajah aslinya sebagai seorang bidadari di kayangan dengan nama Bethari Uma Sudamala maknanya ialah yang telah berhasil membebaskan kutukan atau yang telah berhasil ‘ngruwat”. Adapun Cerita Sudamala diambil dari buku Kidung Sudamala.
Sebelah selatan jalan batu ada terdapat candi kecil, yang di dalamnya ada arca dengan ukuran kecil pula. Menurut mitologi setempat, candi kecil itu merupakan kediaman Kyai Sukuh, penguasa gaib kompleks candi tersebut .
Di dekat candi kecil terdapat tiga arca kura-kura yang cukup besar sebagai lambang dari dunia bawah yakni dasar gunung Mahameru, juga berkaitan dengan kisah suci agama Hindhu yakni samudra samtana ‘ yaitu ketika dewa Wisnu menjelma sebagai kura-kura raksasa untuk membantu para dewa-dewa lain mencari air kehidupan (tirta prewita sari).
Ada juga arca garuda dua buah berdiri dengan sayap membentang. Salah satu arca garuda itu ada prasasti menandai tahun Saka 1363. Juga terdapat prasasti yang diukir di punggung relief sapi yang menyiratkan bahwa Candi Sukuh adalah candi untuk peng-ruwat-an.

B. Pornografi dalam wisata spiritual dan ritual
Pornografi menjadi satu sisi yang mengiringi realitas kehidupan masyarakat kita, entah dipercayai ataupun cukup berhenti pada posisi mitos belaka. Perlu ditinjau dari segi antropologi hukum. Banyak kegiatan Bedah Buku berlatar Mitos (atau kenyataan sejarah?) dari penerbit medioker berjudul “Ritual Gunung Kemukus” di Function Hall Gramedia Matraman Jakarta Pusat. Dengan pembicara : Ahmad Sobary, Happy Salma dan F. Rahardi diskusi menarik bercerita tentang mitos yang berkembang seputaran tempat wisata di sekitar, kampung di Sragen.
Ritual “srono” atau upaya meminta peningkatan kesejahteraan (kekayaan) dalam usaha mereka di Tempat Wisata Gunung Kemukus ini sangat menarik diceritakan. Cerita tentang Pangeran (tokoh yang diziarahi) sendiri memang banyak sekali versi yang berkembang di masyarakat.
Cerita tentang Pangeran Samudra yang berkembang di masyarakat sendiri kurang lebih begini:
Pangeran Samudra sebagai anak Girindrawardhana atau Raja Brawijaya VI, dan Nyai Ontrowulan sebagai salah satu selir sang raja saling jatuh cinta. Sedangkan Prabu Brawijaya sendiri telah Moksa seiring dengan bubarnya Majapahit. Mereka ke Demak untuk menikah, tetapi karena kecantikan Nyai Ontrowulan, banyak petinggi Demak yang Jatuh cinta padanya dan mengejar-ngejar dia dan menggagalkan pernikahan mereka. Mereka Lari ke selatan untuk menyelamatkan diri. Di sebuah daerah hasrat keduanya tidak bisa ditahan lagi, sehingga mereka melakukanya di alam terbuka. Ketika itulah pasukan Demak datang dan hubungan mereka terhenti. dan mereka dibunuh. Mereka dikubur dalam lubang yang sama. Tempat mereka terbunuh mengalir air yang jernih dan dinamai Sendang Ontrowulan. Dan Di makam mereka ada kukus (asap) dan ada suara menggelegar; “wahai Manusia, barangsiapa mau datang ke tempat ini dan bisa menyelesaikan hubungan suami istri kami yang belum selesai, sebanyak tujuh kali, maka segala permintaan kalian, akan dikabulkan oleh Dewa Bathara yang Maha Agung.
Sebagaimana alasan pemerintah punya versi lain dengan versi berkembang turun-temurun di masyarakat. Sudut pandang Pemerintah daerah jelas sangat ambigu sebagai upaya membersihkan kesan negatif tempat ini dengan tujuan pragmatic, meningkatkan jumlah pengunjung dan pemasukan PAD.
Sejak kapan cerita ini diyakini oleh masyarakat dan Sejak kapan pastinya tradisi ziarah dan wisata ini berlangsung, aku kurang bisa memastikan. Sejak aku kecil hidup di sekitar Gunung Kemukus sampai proyek Waduk Kedung Ombo yang memisahkan area ini dengan sekarang.
Mungkin bagi yang belum mendengar tentang tempat ini pasti tidak percaya masih ada kepercayaan di masyarakat tentang ritual “berbau prostitusi” ini. Memohon diberi kemudahan dalam berusaha di Gunung Kemukus melalui perantara Pangeran Samudro dan Nyai Ontrowulan secara nalar ketauhidan (sudut pandang agama) jelas sebuah kesyirikan tingkat tinggi. Mitos tujuh kali melakukan hubungan suami istri dengan pasangan yang sama namun bukan dengan istri atau suami kita sepertinya kok memang sebuah pemikiran “yang tak masuk akal. Tetapi tertepas dari semua itu, inilah kenyataan dan ironi di masyarakat kita.

Pemaksaan kebenaran kepada sesama adalah wujud ketidakdilan juga kata M. Sobary menanggapi hal ini. Yang menjadi kunci adalah kepercayaan di dalam diri kita masing¬-masing. Kita harus menanamkan fundamentalisme ketauhidan dalam diri kita sendiri. Kepercayaan spiritual seseorang datang dari proses yang tak akan bisa dipahami orang lain. Melakukan ritual ini di Gunung Kemukus adalah untuk yang percaya dan kita tak bisa memaksa untuk tidak percaya.
Bedah Buku dan launching Buku “Ritual Gunung Kemukus” di Gramedia Matraman, sepertinya memberikan satu kenyataan yang sebelumnya jauh dari sudut pandang Antropologi Hukum.

C. Tantangan dari aliran kebatinan
H.M. Rasyidi, menteri agama ARI yang pertama menerangkan tentang betapa beratnya tantangan dari aliran kebatinan terhadap apa saja yang berbau syari’at Islam, bukan saja tentang arti pornografi, tetapi juga tentang halal-haram.
Dalam kitab Darmogandul dan Gartoloco, telah diterjemahkan oleh Prof. Dr. HM. Rasyidi :

Semua makanan dicela :
1. Masakan cacing
2. Dendeng kucing
3. Pindang kera
4. Opor monyet
5. Masakan ular sawah
6. Sate luwak
7. Sup anak anjing
8. Panggang babi rusa
9. Panggang kodok
10. Tikus goreng
11. Makanan yang terbuat dari lintah
12. Rebus usus anjing
13. Kare kucing besar
14. Bistik gembluk babi hutan

Selanjutnya Darmogandul menyatakan :
1. “Serengat” diartikan hubungan kelamin laki-laki perempuan
2. “kiblat” berarti hubungan seksual
3. “Zalika” diartikan jika tidur kemaluan bangkit
4. “kitabu laa” kemaluan laki-laki tergesa-gesa
5. “la raiba fihi hudan” diartikan perempuan telanjang
6. “lil-muttaqiin” diartikan kemaluan laki-laki merasakan sesuatu

Mohon maaf tulisan ini bukan untuk berbuat nista, tapi itulah kenyataan tulisan “pornografi” di dalam Darmogandul. Umat Islam sulit sekali berkepala dingin mendengar hujatan terhadap Allah dan Rasul-Nya.


D. Analisis
1. Ketidak jelasan ukurannya
Alasan-alasan tentang akibat pornografi dan pornoaksi bukannya tidak bennasalah. Pertarna, tidak jelas tentang ukuran hubungan sebab akibat antara hal-hal porno dan akibat-akibatnya pada manusia. Kedua, sulit sekali menemukan bukti-bukti empiris tentang pengaruh negatif hal-hal porno. Penelitian-penelitian tentang pengaruh negatif pornografi masih bersifat parsial, tidak memadai, dan tidak sempurna. Oleh karena itu, hasil penelitian-penelitian itu tidak meyakinkan.
Beberapa tahun terakhir berkembang pendekatan yang agak berbeda dalam menolak pornografi, yaitu dari para penulis feminis, terutama Andrea Dworkin dan Catherine MacKinnon. Mereka menyerang pornografi yang mereka definisikan sebagai “the graphic sexually explicit subordination of women through pictures or words” Mereka menolak pornografi bukan karena pornografi menyebabkan kekerasan terhadap perempuan, namun karena pornografi dalam dirinya sendiri terdapat kekerasan terhadap perempuan. Pornografi melanggar hak-hak perempuan sebagai kelompok, dan sebagai individu, dan dapat dipandang sebagai bentuk diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Jadi, kekerasan terhadap perempuan, terutama dalam bentuk grafiti adalah pornografi.


2. Pembatasan Wewenang Pemerintah
Dalam antropologi hukum dan filsafat politik. Apakah pemerintah mempunyai wewenang membuat hukum yang melarang atau membatasi pornografi dan pornoaksi? Melarang sama sekali? Membatasi saja? Jika membatasi, sampai pada tahap apa? Memiliki untuk konsumsi pribadi? Membatasi dengan meregulasi toko-toko untuk orang dewasa? Membatasi pada umur tertentu?
Kebanyakan pemerintah di berbagai negara di atas membatasi peredaran dan akses ke bahan-bahan pornografi sampai pada batas tertentu. Mereka menjustifikasi tindakan itu dengan alasan untuk melindungi anak-anak di bawah umur dan tetap membuka akses untuk orang dewasa. Orang dewasa dianggap sebagai warga negara yang bertanggung jawab dan sudah bisa mengambil keputusan sendiri apa yang harus ia lakukan. Jadi, negara tidak mengatur orang dewasa seperti mengatur anak-anak di bawah umur.
Mill menulis “That the Only purpose for wich power can be rightfully exercised over any member of a chivilized community, against his will, is to prevent harm to others.
Bahwa satu-satunya tujuan yang dapat membenarkan penggunaan kekuasaan atas anggota suatu komunitas beradab, melarang keinginannya, yaitu untuk mencegah terjadinya gangguan terhadap orang lain.
Teori Mill ini menolak teori paternalisme: yakni bahwa kebebasan seseorang adalah sah untuk dibatasi dalam rangka menjaga kebahagiaan, kebutuhan, kepentingan orang itu sendiri. Mill tidak setuju dengan prinsip paternalisme, bagi Mill orang-orang yang sudah dewasa adalah orang yang kompeten. Setiap orang dewasa dapat mengetahui yang terbaik buat dirinya sendiri. Kita boleh mengajak orang berbuat baik dan menjauhi kebiasaan merusak, narnun kita tidak dapat memaksa mereka dengan instrumen hukum. Jika mayoritas berusaha memaksa minoritas, maka akan berakibat pada intoleransi, prejudis, dan penderitaan. Prinsip Mill ini biasa digunakan untuk membaca teks hukum di bidang pornografi, kebebasan beragama, dan sebagainya.
Selanjutnya Mill menulis: “His Own good, either physical or moral, is not a sufficient warrant. He cannot rightfully he compelled to do or forbear because it will be better for him to do so, because it will make him happier, because, in the opinions of others, to do so would be wise, or even right.”, Kebaikan bagi seseorang, baik fisik maupun moral, bukanlah justifikasi yang memadai. Adalah tidak sah memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu karena sesuatu itu demi kebaikan dirinya, karena akan membuatnya lebih bahagia, karena menurut pendapat orang lain melakukan hal itu adalah bijak atau benar.

E. Kesimpulan
Dari berbagai hukum tentang pornografi di berbagai negara di dunia, terutama di Amrrika Serikat dapat disimpulkan bahwa sasaran utama dari hukum tentang pornografi dan ubcenity adalah:
1. Mengatur aspek komersial dari pornografi;
2. Perlindungan terhadap anak-anak di bawah umur;
3. Perlindungan terhadap kaum perempuan.

Kemudian metode kontrol yang digunakan dalam menangani pornografi dan obscenity adalah:
1. Pra-sensor untuk menguji bagian-bagian yang yang boleh dipublikasikan atau ditayangkan kepada publik terutama film-film layar lebar.
2. Kriminalisasi (jika pra-sensor tidak dilakukan) dengan mengontrol bahan-bahan yang telah diterbitkan dan ditayangkan kepada publik, terutama segala sesuatu yang terkait dengan pornografi anak-anak dan kekerasan terhadap perempuan.
3. Kontrol tempat penjualan (outlet) yang ditujukan pada bagaimana bahan-bahan porno disediakan kepada publik. Sifatnya hanya pembatasan penyebaran bahan-bahan porno, bukan larangan publikasinya.


DAFTAR PUSTAKA

Allot, A and R. Woodman Gordon (Eds), People's Law and State Law, Foris Publication, Dordrecht, Holland, 1975. Bohanan, Paul, Justice and Judgement Among The Tiv, Oxford University Press, London, 1957.
Bohanan, Paul (Ed), Law and Warfare, Studies in the Anthropology of Conflict, The Natural History Press, New York, 1967.
Comaroff and Simon Roberts, Rules and Processes, The Cultural Logic of Disputes in An African Context, The University of Chicago, Chicago-London, 1981.
F. von Benda-Beckmann, Property in Social Continuity, Continuity and Change in the Maintenance of Property Relations Through Time in Minangkabau, West Sumatera, Martinus Nijhoff, The Hague, 1979.
F. von Benda-Beckmann, “From The Law of Primitive Man to Social-Legal Study of Complex Societies”, dalam Antropologi Indonesia, Majalah Antropologi Sosial dan Budaya No. 49 Tahun XIII, FISIP UI, Jakarta, 1989, hal. 67-75.
Griffiths, John, “What is Legal Pluralism”, dalam Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law Number 24/1986, The Foundation for Journal of Legal Pluralism, 1986, pp. 1-56.
Hoebel, E. Adamson, The Law of Primitive Man, A Study in Comparative Legal Dynamics, Antheum, New York, 1968.
Ihromi,T.O., Antropologi dan Hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1984. Ihromi, T.O (Ed)., Antropologi Hukum, Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993.
Koentjaraningrat, “Antropologi Hukum”, dalam Antropologi Indonesia, Majalah Antropologi Sosial dan Budaya No. 47 Tahun XII 1989, FISIP UI, Jakarta, 1989, hal. 26-34.
Krygier, Martin, “Anthropological Approaches”, dalam Eugene Kamanke and Alice Erh-Soon-Tay (Eds), Ideas and Ideologies, Law and Social Control, Edward Arnold Ltd. London, 1980, pp. 27-59.
K. von Benda-Beckmann and F. Strijbosch (Eds), Anthropology of Law in The Netherlands, Essays on Legal Pluralism, Foris Publications, Dordrecht-Holland, 1986.
Kartini Kartono, 1993, Patologi Sosial
Llewellyn, R.N. and E.A. Hoebel, The Cheyenne Way, Conflict and Case Law in Primitive Jurisprudence, University of Oklahoma Press, 1941.
Malinowski, B., Crime and Custom in Savage Society, Kegal Paul, Trench and Trubner, London, 1926.
Moore, Sally F., Law As Process, An Anthropological Approach, Routledge & Kegan Paul Ltd. London, 1978.
Nader, Laura (Ed), The Ethnography of Law, Volume 67 No. 6 Bag, 2 American Anthropological Association, 1965.
Nader, Laura and Harry F. Todd Jr., The Disputeing Process-Law in Ten Societies, Columbia University Press, New York, 1978. Pospisil L., Anthropology of Law, A Comparative Theory, Harper & Row Publisher, London, 1971.
Roberts, Simon, Order and Disputes, An Intriduction to Legal Anthropology, Penguin Books Ltd. Harmondworth, England, 1979.
Starr, June and Jane F. Collier, History and Power in The Study of Law, New Direction in Legal Anthropology, Camel University Press, Ithaca and London, 1989.
Sujono Soekanto, Dasar-dasar Sosiologi, 1990

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan Kritik, Info dan Saran Anda yang bersifat membangun !
Yang tidak memiliki akun, bisa berkomentar menggunakan nama Anonym. Terima kasih.