Senin, 29 November 2010

Intervensi Perilaku Agresif (Aggressive Behavior) Siswa Melalui Pembelajaran Keterampilan Sosial Dan Emosional




BAB I

PANTUN BULLYING AND VIOLENCE


Yang dikatakan, sebuah gasing,
Bulat pendek, seperti bakul.
Yang dikatakan , tindakan bullying,
Prerilaku orang , suka memukul.

Bakul besar, diinjak kerbau,
Bakul berisi, pisau tajam.
Memukul manusia, seperti kerbau,
Itulah bullying, yang kejam.

Asal mulanya, datang kepinding,
Dari kelilawar, yang mengepak.
Asal mulanya, istilah bullying,
Dari pekerjaan, gembala ternak.


Tengku berjualan, ke Tanjung Pebilah,
Paritnya runtuh, setiap bulan.
Perilaku penggembala, sampai ke sekolah,
Murid dan guru, pukul-pukulan.


Perilaku agresif yang terjadi di lingkungan sekolah jika tidak segera ditangani, di samping dapat menggangu proses pembelajaran, juga akan menyebabkan siswa cenderung untuk beradaptasi pada kebiasaan buruk tersebut. Situasi demikian akan membentuk siswa untuk meniru dan berperilaku agresif pula, sehingga perilaku agresif siswa di sekolah dianggap biasa dan akan semakin meluas. Dalam pandangan yang optimis, perilaku agesif bukan suatu perilaku yang dengan sendirinya ada di dalam diri manusia (not innately given), tetapi merupakan perilaku yang terbentuk melalui pengalaman dan pendidikan.

Dengan demikian, siswa yang mempunyai perilaku agresif, melalui pengalaman dan pendidikan perilakunya dapat diubah menjadi perilaku yang lebih positif. Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa munculnya perilaku agresif terkait dengan rendahnya keterampilan sosial anak, di samping itu juga terkait dengan rendahnya kemampuan anak dalam mengatur/ mengelola emosinya. Dengan demikian, melalui pembelajaran keterampilan sosial dan emosional, perilaku agresif siswa di sekolah diharapkan dapat direduksi.

Pendahuluan
Sekolah, seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan, tempat yang aman dan sehat, tempat di mana para siswa dapat mengembangkan berbagai potensi yang mereka miliki dengan sepenuhnya. Namun, masuk ke dalam lingkungan sekolah bagi seorang siswa ternyata tidak selalu menyenangkan, mungkin malah sebaliknya bisa membuat mereka stress, cemas dan takut. Bayangan akan terjadinya tindak kekerasan saat memasuki lingkungan sekolah sering menghantui siswa.

Perilaku agresif siswa di sekolah sudah menjadi masalah yang universal (Neto, 2005), dan akhir-akhir ini cenderung semakin meningkat. Berita tentang terlibatnya para siswa dalam berbagai bentuk kerusuhan, tawuran, perkelahian, dan tindak kekerasan lainnya semakin sering terdengar. Perilaku agresif siswa di sekolah sangat beragam dan kompleks. Persoalan perilaku agresif siswa semakin kompleks manakala perilaku agresif akhir-akhir ini juga dipertontonkan oleh guru, ada guru yang memukul siswanya, bahkan ada yang sampai membunuh siswanya.

Menurut Todd, Joana, dkk. (dalam Nataliani, 2006), kekerasan dalam bentuk fisik maupun verbal di kalangan siswa telah menjadi sebuah masalah serius yang ada di berbagai negara di seluruh dunia. Perilaku agresif siswa telah menimbulkan dampak negatif, baik bagi siswa itu sendiri maupun bagi orang lain. Anak yang mengalami kekerasan akan mengalami masalah di kemudian hari baik dalam hal kesehatan maupun kesejahteraan hidupnya

Sehubungan dengan perilaku agresif siswa di sekolah, Wilson, et al. (2003: 136) menyatakan: “These behaviors, even when not overtly violent, may inhibit learning and create interpersonal problems for those involved”. Selanjutnya, dengan mengutip pendapat Goldstein, Harootunian, & Conoley, (1994), Wilson, et al. (2003) menyatakan: “In addition, minor forms of aggressive behavior can escalate, and schools that do not effectively counteract this progression may create an environment in which violence is normatively acceptable”.

Dengan demikian, jika perilaku agresif yang terjadi di lingkungan sekolah tidak segera ditangani, di samping dapat menggangu proses pembelajaran, juga akan menyebabkan siswa cenderung untuk beradaptasi pada kebiasaan buruk tersebut. Semakin sering siswa dihadapkan pada perilaku agresif, siswa akan semakin terbiasa dengan situasi buruk tersebut, kemampuan siswa untuk beradaptasi dengan perilaku agresif akan semakin tinggi, dan akan berkembang pada persepsi siswa bahwa perbuatan agresif merupakan perbuatan biasa-biasa saja, apalagi jika keadaan ini diperkuat dengan perilaku sejumlah guru yang cenderung agresif pula ketika menghadapi murid-muridnya. Situasi demikian akan membentuk siswa untuk meniru dan berperilaku agresif pula, sehingga perilaku agresif siswa di sekolah dianggap biasa dan akan semakin meluas.

Apakah yang dimaksud dengan perilaku agresif (aggressive behavior)?, mengapa perilaku agresif bisa muncul? dan bagaimanakah upaya penanganannya, khususnya di setting sekolah?. Tulisan ini mencoba menguraikan tentang perilaku agresif dan wujudnya di sekolah, teori tentang penyebab timbulnya perilaku agresif, serta beberapa alternatif upaya penanganannya.





Duku lisut, terkena petasan,
Walaupun masak, tak punya rasa.
Perilaku Agresif, melakukan kekerasan,
Dalam keadaan, sangat memaksa.


Sebakul pulut, di dekat bara,
Asap mengepul, api menjalar.
Memukul murid, masuk penjara,
Tidak dipukul, muridnya kurang ajar.


Ketam darat, dapat dilembing,
Ketam lautnya, ditusuk besi.
HAM Barat, melarang bullying,
HAM Timur hanya, membatasi.


Semua kucing, pandai memanjat,
Kalau sahat, mudah melirik.
Tidak semua bullying, jelek dan jahat,
Kalau penggunaannya, teratur dan baik.


Menggunakan piring, harus perlahan,
Kalau pecah, tangan terluka.
Penggunaan bullying, berlebihan,
Itulah pembawa, malapetaka.



Sebelum membicarakan tentang definisi perilaku agresif (aggressive behavior), perlu dikemukakan bahwa ada beberapa konsep yang maknanya masih diperdebatkan mempunyai perbedaan, atau persamaan, dengan perilaku agresif, konsep tersebut adalah bullying dan violence.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa perilaku agresif sinonim dengan bullying dan violence, sementara yang lain berpendapat bahwa bullying dan violence merupakan sub bagian (subset) dari perilaku agresif. Perdebatan konsep tersebut ditegaskan oleh O’moore (t.t.: 1) sebagai berikut:

There is a tendency, at present, towards viewing aggression, bullying and violence as being synonymous. While few will disagree that bullying and violence are sub-sets of aggressive behaviour, disagreements are encountered, especially in respect of what constitutes bullying and violence.

Dalam tulisan ini, tidak diperdebatkan apakah ketigabuah konsep di atas berbeda ataukah sinomin, tetapi yang ditekankan adalah bentuk-bentuk yang tampak dari suatu perilaku yang digolongkan sebagai perilaku agresif.

Di dalam kajian psikologi, perilaku agresif mengacu kepada beberapa jenis perilaku baik secara fisik maupun mental, yang dilakukan dengan tujuan menyakiti seseorang (Berkowitz, 2003). Jenis perilaku yang tergolong perilaku agresif diantaranya berkelahi (fighting), mengata-ngatai (name-calling), bullying, mempelonco (hazing), mengancam (making threats), dan berbagai perilaku intimidasi lainnya (Wilson, 2003). Sebagian tidak jelas hubungannya antara perilaku yang satu dengan perilaku yang lain, sehingga istilah perilaku agresif sulit untuk didefinisikan secara ringkas.

Loeber and Stouthamer-Loeber, dalam Tremblay (2000: 131) mendefinisikan perilaku agresif sebagai berikut: “aggression is defined as those acts that inflict bodily or mental harm on others”. Definisi ini lebih menekankan pengertian agresif pada tindakannya, yang selanjutnya mempunyai pengaruh negatif sebagai konsekuensi dari sebuah tindakan agresif terhadap korban, yaitu kerugian jasmani dan mental orang lain, tanpa memandang tujuan dilakukannya tindakan agresif itu sendiri.

Sedikit berbeda dengan definisi di atas, Coie and Dodge, dalam Tremblay (2000: 131) mendefinisikan perilaku agresif sebagai berikut: “behaviour that is aimed at harming or injuring another person or persons”. Definisi ini tidak menekankan pada kemungkinan konsekuensi negatif yang ditimbulkan oleh perilaku agresif, tetapi lebih menekankan pada tujuan dilakukannya perilaku agresif, yaitu kerugian atau terlukanya orang lain.

Sekarang, rumusan perilaku agresif tidak hanya dilihat dari bentuk perilakunya, melainkan juga dilihat dari aspek tujuan atau maksud dilakukannya suatu perbuatan agresif tersebut. Rumusan demikian sesuai dengan yang dikemukakan oleh Persson (2005: 81) sebagai berikut:

In the present study, the definition of aggression was broadly formulated to encompass not only acts specifically intended to hurt another person, but also acts that result in negative consequences for a peer, although their primary aim is to attain a personal goal, rather than to hurt a peer.

Berdasarkan pendapat di atas, sebuah perbuatan dapat digolongkan sebagai perilaku agresif jika perbuatan tersebut sengaja dilakukan dengan menyakiti atau merugikan orang lain. Dengan demikian, seorang siswa yang karena perbuatannya tidak dengan sengaja menyakiti temannya, tidak digolongkan berperilaku agresif, berbeda dengan perilaku siswa yang dengan sengaja menyerang temannya dengan tujuan menyakiti.







C. Bentuk-Bentuk Perilaku Agresif
Masing-masing ahli berbeda-beda dalam menggolongkan bentuk-bentuk perilaku agresif, ada yang menggolongkan bentuk perilaku agresif ke dalam bentuk fisik dan bentuk mental (misalnya Berkowitz, 2003), ada yang membaginya ke dalam bentuk perilaku agresif langsung dan perilaku agresif tidak langsung (misalnya Wilson, 2003). Sementara itu, Persson menggolongkan perilaku agresif ke dalam empat bentuk sebagaimana yang ia nyatakan sebagai berikut: “The form of the aggressive behaviour could be (1) physical; (2) verbal; (3) social/relational; or (4) manifested as grabbing or destruction of peers’ objects” (Persson 2005: 84).

Dalam tulisan ini, perilaku agresif digolongkan ke dalam dua bentuk, yaitu fisik dan mental, dengan masing-masing contohnya sebagai berikut:

- Perilaku agresif secara fisik, contohnya:
Mendorong, Menarik, Memukul, Menendang, Mengguncang, Melempar, Mencubit, Mencakar, Mencekik , Menarik rambut, dll.

- Perilaku agresif secara mental, conyohnya:
Mengancaman, Melotot, Mengolok-olok, Mengejek, Mengata-ngatai, Membentak, Meneriaki, Mengasingkan, Menyebarkan rumor , dll.

D. Penyebab Perilaku agresif
Topik-topik di dalam kajian bidang psikologi dapat ditinjau melalui berbagai sudut pandang yang berbeda-beda. Perbedaan sudut pandang tersebut tergantung pada teori masing-masing yang mendasarinya.

Khusus mengenai perilaku agresif, misalnya, mereka yang menggunakan perspektif biologi (biological perspective) akan memperhatikan bagaimana hormon, temperamen, otak dan nervous system berdampak pada perilaku agresif. Sementara mereka yang menekankan perspektif tingkah laku (behavioral perspective) akan memperhatikan bagaimana variabel-variabel lingkungan dapat menguatkan tindakan-tindakan agresif. Adapun menurut pandangan psikoanalisa, perilaku agresif manusia sebagian besar didorong oleh sifat bawaan manusia yang destruktif, yang oleh Freud dinamakan thanatos, atau insting kematian.

Dari sudut pandang ethologi (ilmu tentang perilaku hewan), agresi adalah insting berkelahi dalam rangka mempertahankan hidup dari ancaman spesies lain. Sementara itu, teori frustrasi berpandangan bahwa setiap perilaku manusia memiliki tujuan tertentu, jika seseorang gagal dalam mencapai tujuannya maka akan timbul perasaan frustrasi, selanjutnya, keadaan frustrasi akan dapat menimbulkan agresi, dan intensitas frustrasi yang ter-gantung pada besarnya ambisi individu dalam mencapai tujuan, banyaknya penghalang, dan berapa banyak frustrasi yang pernah dialami sebelumnya.

Teori-teori perilaku agresif yang telah dikemukakan di atas sebagian besar merupakan “pandangan yang pesimis” terhadap kemungkinan dapat diubahnya perilaku agresif menjadi perilaku yang positif. Sebagai seorang yang bergelut di dunia pendidikan, penulis lebih tertarik dengan “pandangan yang lebih optimis” terhadap kemungkinan dapat diubahnya perilaku agresif.

Para ahli teori belajar sosial (Social Learning Theory) memberikan sumbangan yang lebih optimis mengenai kejadian perilaku agresif. Dalam pandangannya Bandura, Dorothea Ross dan Sheila Ross (1961), perilaku agresif merupakan perilaku yang dipelajari, baik melalui observasi maupun melalui pengalaman langsung, bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada di dalam diri manusia (not innately given). Bandura berpendapat bahwa perilaku agresif timbul karena adanya pengalaman observasi terhadap model yang terjadi tanpa disadari (modelling atau imitasi). Perilaku akan ditiru bila; 1) orang yang ditiru dikagumi dan 2) meniru menimbulkan perasaan bangga (me-nimbulkan penguatan emosional). Oleh karena itu, untuk memahami sumber-sumber perilaku agresif dapat dimulai dengan mempelajari kondisi-kondisi di luar diri individu ketimbang memperhatikan faktor individu itu sendiri.

Pendekatan Bandura adalah suatu perluasan dari behaviorisme yang pada dasarnya memandang perilaku manusia dibentuk oleh pengalaman-pengalaman hidup mereka, perilaku manusia terbentuk oleh ganjaran dan hukuman-hukuman yang dialaminya setiap hari. Bandura mencoba mengembangkan konsep-konsep yang digunakan pada operant dan classical cond-tioning untuk menjelaskan perilaku sosial manusia yang kompleks. Konsep utamanya adalah penguatan dan imitasi. Dalam memandang perilaku agresif, Bandura menyatakan bahwa jika anak-anak menjadi saksi yang pasif pada sebuah tayangan yang agresif, mereka akan meniru perilaku agresif tersebut jika ketika diberi kesempatan (Bandura, Dorothea Ross dan Sheila Ross, 1961).

Proses sosialisasi, yaitu transfer nilai dan norma dari orangtua ke anak, berpengaruh secara langsung pada perilaku anak. Tujuan utama dari proses sosialisasi orangtua dan anak adalah menumbuhkan kepatuhan atau kesediaan mengikuti keinginan atau peraturan tertentu. Anak akan melakukan keinginan orangtua bila ada kelekatan yang aman di antara mereka. Tujuan kedua proses sosialisasi adalah menumbuhkan self regulation (pengaturan diri), yaitu kemampuan mengatur perilakunya sendiri tanpa perlu diingatkan dan diawasi oleh orangtua. Dengan adanya self regulation ini, anak akan mengetahui dan memahami perilaku seperti apa yang dapat diterima oleh orangtua dan lingkungannya (Hetherington & Parke, 1999).

Faktor lain yang tidak kalah pentingnya mempengaruhi perilaku anak adalah pola asuh orangtua. Menurut Baumrind, Maccoby dan Martin (dalam Hetherington & Parke, 1999). Pola asuh orangtua yang permisif dan tidak mau terlibat berhubungan dengan karakteristik anak yang impulsif, agresif dan memiliki keterampilan sosial yang rendah. Sedangkan anak yang orangtuanya otoriter cenderung menunjukkan dua kemungkinan, berperilaku agresif atau menarik diri. Hal ini sejalan dengan penelitian Chamberlain, dkk (dalam Yanti, 2005) yang menyebutkan bahwa pola asuh orangtua yang berhubungan dengan gangguan perilaku pada anak adalah penerapan disiplin yang keras dan tidak konsisten, pengawasan yang lemah, ketidakterlibatan orangtua, dan penerapan disiplin yang kaku.

Di sisi lain, lingkungan di luar keluarga yang cukup berperan bagi perkembangan perilaku anak adalah teman sebaya, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Anak-anak yang ditolak dan memiliki kualitas hubungan yang rendah dengan teman sebaya cenderung menjadikan agresivitas sebagai strategi berinteraksi (Dishion, French & Patterson, 1995 dalam Yanti, 2005). Sementara, anak-anak yang agresif dan memiliki perilaku antisosial akan ditolak oleh teman sebaya dan lingkungannya sehingga mereka memilih bergabung dengan teman sebaya yang memiliki perilaku sama seperti mereka, yang justru akan memperparah perilaku mereka (Jimerson, dkk., 2002).

Sehubungan dengan pandangan-pandangan di atas yang menyiratkan bahwa perilaku agresif bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada di dalam diri manusia, tetapi merupakan perilaku yang terbentuk melalui pengalaman dan pendidikan, maka tulisan berikut lebih berorientasi pada pandangan-pandangan tersebut, di mana aplikasinya dapat digunakan dalam dunia pendidikan yang juga berpendapat bahwa pendidikan dan pengalaman akan dapat membentuk perilaku seseorang.

E. Intervensi terhadap Perilaku Agresif
Akhir-akhir, banyak dikemukakan teori tentang keterkaitan antara kemampuan emosional dan munculnya psychopathology, utamanya perilaku agresif (eg., Cole, Michel, & Teti, 1994; Cole & Zahn-Waxler, 1990; Dodge & Garber, 1991, dalam Bohnert, et al., 2003: 1).

Kemampuan mengatur emosi mempegaruhi keterampilan sosial anak. Penelitian yang dilakukan oleh Rubin, Coplan, Fox & Calkins (dalam Rubin, Bukowski & Parker, 1998) menyimpulkan bahwa pengaturan emosi sangat membantu, baik bagi anak yang mampu bersosialisai dengan lancar maupun yang tidak. Anak yang mampu bersosialisasi dan mengatur emosi akan memiliki keterampilan sosial yang baik sehingga kompetensi sosialnya juga tinggi. Anak yang kurang mampu bersosialisasi namun mampu mengatur emosi, maka walau jaringan sosialnya tidak luas tetapi ia tetap mampu bermain secara konstruktif dan berani bereksplorasi saat bermain sendiri. Sedangkan anak-anak yang mampu bersosialisasi namun kurang dapat mengontrol emosi, cenderung akan berperilaku agresif dan merusak. Adapun anak-anak yang tidak mampu bersosialisasi dan mengontrol emosi, cenderung lebih pencemas dan kurang berani bereksplorasi.

Munculnya perilaku agresif juga terkait dengan keterampilan sosial anak, yaitu kemampuan anak mengatur emosi dan perilakunya untuk menjalin interaksi yang efektif dengan orang lain atau lingkungannya (Cartledge & Milburn, 1995). Mereka cenderung menunjukkan prasangka permusuhan saat berhadapan dengan stimulus sosial yang ambigu mereka sering mengartikannya sebagai tanda permusuhan sehingga menghadapinya dengan tindakan agresif (Crick & Dodge dalam Yanti, 2005). Mereka juga kurang mampu mengontrol emosi, sulit memahami perasaan dan keinginan orang lain, dan kurang terampil dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial (Lochman, dkk. dalam Yanti, 2005). Rendahnya keterampilan sosial ini membuat anak kurang mampu menjalin interaksi secara efektif dengan lingkungannya dan memilih tindakan agresif sebagai strategi coping. Mereka cenderung menganggap tindakan agresif sebagai cara yang paling tepat untuk mengatasi permasalahan sosial dan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Akibatnya, mereka sering ditolak oleh orangtua, teman sebaya, dan lingkungannya.

Penolakan oleh orangtua, teman sebaya, dan lingkungannya justru semakin berdampak buruk bagi anak. Jaringan sosial dan kualitas hubungan mereka dengan lingkungan menjadi rendah, padahal kedua kondisi ini merupakan media yang paling dibutuhkan anak untuk mengembangkan keterampilan sosialnya. Anak juga menjadi lebih suka bergaul dengan temannya yang memiliki karakteristik yang sama dengan mereka. Seolah-olah seperti “lingkaran setan”. Hal ini akan membuat keterampilan sosial anak tetap rendah dan gangguan perilaku mereka semakin parah yang pada akhirnya akan membuat mereka semakin dijauhi oleh lingkungan.

Keterampilan sosial bukanlah suatu kemampuan yang dibawa individu sejak lahir (not innately given), tetapi diperoleh melalui proses belajar, baik belajar dari orangtua sebagai figur yang paling dekat dengan anak maupun belajar dari teman sebaya dan lingkungan masyarakat. Michelson, dkk (dalam Yanti 2005) menyebutkan bahwa keterampilan sosial merupakan suatu keterampilan yang diperoleh individu melalui proses belajar, mengenai cara-cara mengatasi dan melakukan hubungan sosial dengan tepat dan baik. Senada dengan pendapat tersebut, Kelly dkk. (dalam Yanti 2005) mengatakan bahwa keterampilan sosial adalah perilaku yang dipelajari, yang digunakan individu dalam situasi interpersonal untuk memperoleh atau memelihara pengukuh dari lingkungannya.

Goleman (1996) menyatakan bahwa dari beberapa hasil penelitian dalam menangani perilaku agresif siswa di sekolah, program pembelajaran keterampilan sosial dan emosional ternyata menunjukkan hasil yang positif. Siswa yang terlibat dalam program tersebut semakin berkurang sikap agresifnya. Goleman (1996: 274) menyatakan: “…and the longer they had been in the program, the less aggressive they were as teenagers”.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, perilaku agresif siswa dapat direduksi melalui program pembelajaran keterampilan sosial dan emosional

Sulit untuk menyusun daftar yang lengkap tentang keterampilan sosial apa yang harus dimiliki anak agar selalu berhasil dalam interaksi sosialnya, karena sebagaimana kehidupan sosial itu sendiri, kesempatan untuk berhasil secara sosial juga dapat berubah sesuai waktu, konteks, dan budaya. Namun demikian, menurut Schneider dkk (dalam Rubin, Bukowski & Parker, 1998), agar seseorang berhasil dalam interaksi sosial, maka secara umum dibutuhkan beberapa keterampilan sosial yang terdiri dari pengaturan emosi, dan perilaku yang tampak yaitu:
a. Memahami pikiran, emosi, dan apa yag dimaksudkan oleh orang lain.
b. Menangkap dan mengolah informasi mengenai partner sosial dan lingkungan pergaulan yang berpotensi menimbulkan interaksi.
c. Menggunakan berbagai cara yang dapat digunakan untuk memulai komunikasi atau interaksi dengan orang lain, memeliharanya, dan mengakhiri-nya dengan cara yang positif.
d. Memahami konsekuensi dari sebuah tindakan sosial, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain atau tujuan tindakan tersebut.
e. Membuat penilaian moral yang matang yang dapat mengarahkan tindakan sosial.
f. Bersikap sungguh-sungguh dan memperhatikan kepentingan orang lain.
g. Mengekspresikan emosi positif dan menghambat emosi negatif secara tepat.
h. Menekan perilaku negatif yang disebabkan adanya pikiran dan perasaan yang negatif mengenai partner sosial.
i. Berkomunikasi secara verbal dan non verbal agar partner sosial dapat memahaminya.
j. Memperhatikan usaha komunikasi orang lain dan memiliki kemauan untuk memenuhi kemauan partner sosial.

Beberapa contoh program pembelajaran keterampilan sosial dan emosional yang dapat dilakukan untuk mereduksi perilaku agresif siswa di sekolah, antara lain adalah sebagai berikut:

a. Siswa diberikan pembelajaran dan pelatihan untuk melihat bagaimana sejumlah isyarat sosial yang mereka tafsirkan sebagai permusuhan itu sesungguhnya netral atau bersahabat.
Pembelajaran dan pelatihan di atas penting diberikan, sebab perilaku agresif sering kali muncul karena adanya penafsiran yang salah terhadap sejumlah isyarat sosial dari orang lain yang cenderungan selalu dianggap sebagai isyarat permusuhan. “… children with aggressive behavior more often make errors interpreting intent in ambiguous social situations and attend selectively to hostile social cues than do their nonaggressive peers” (e.g., Crick & Dodge, 1994, dalam Bohnert, et al., 2003: 2).
b. Siswa diberikan pembelajaran dan pelatihan untuk meninjau dari sudut pandang anak lain, untuk memperoleh perasaan bagaimana mereka dilihat oleh orang lain dan merasakan apa yang barangkali dipikirkan dan dirasa-kan oleh orang lain dalam perselisihan-perselisihan yang telah membuat mereka begitu marah.
c. Siswa dilibatkan secara langsung untuk mengendalikan amarah melalui skenario-skenario peragaan, misalnya diejek, yang dapat membuat mereka marah dan dituntun untuk mengendalikannya.
d. Melatih skill berbicara dan belajar meminta maaf. Latihan ini penting didasarkan pada asumsi bahwa perilaku agresif terjadi karena orang tidak bisa atau kurang dapat berkomunikasi dengan baik, sebagaimana dikatakan oleh Shields & Cicchetti (dalam Bohnert, et al., 2003: 2): “Aggressive symptoms were associated with decreased ability to verbally express negative feelings, exhibit empathy towards others, and display a range of emotion”

F. Penutup
Perilaku agresif siswa akan menimbulkan dampak yang sangat merugikan, baik bagi siswa itu sendiri maupun bagi orang lain. Anak yang mengalami kekerasan akan mengalami masalah di kemudian hari baik dalam hal kesehatan maupun kesejahteraan hidupnya.

Dalam pandangan yang optimis, perilaku agesif bukan suatu perilaku yang dengan sendirinya ada di dalam diri manusia, tetapi merupakan perilaku yang terbentuk melalui pengalaman dan pendidikan yang diperoleh seseorang dalam kehidupannya. Dengan demikian, siswa yang mempunyai agresif, melalui pengalaman dan pendidikan perilakunya dapat diubah menjadi perilaku yang lebih positif.

Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa munculnya perilaku agresif terkait dengan rendahnya keterampilan sosial anak, di samping itu juga terkait dengan rendahnya kemampuan anak dalam mengatur/mengelola emosinya. Dengan demikian, melalui pembelajaran keterampilan sosial dan emosional, perilaku agresif siswa di sekolah diharapkan dapat direduksi.

DAFTAR RUJUKAN
Bandura, Albert., Dorothea Ross and Sheila Ross (1961). Transmission of aggression through imitation of aggressive models. http://psychclassics. yorku.ca/Bandura/bobo.htm. Diakses pada hari Kamis, 6 Desember 2007
Berkowitz, L. (2003). Emosional Behavior: Mengenali perilaku dan tindakan kekerasan di lingkungan sekitar kita dan cara penanggulangannya. Penerjemah: Hartatni Woro Susiatni. Jakarta: CV. Teruna Grafica.
Bohnert, Amy M., Keith A. Crnic, Karen G. Lim. Feb, 2003. Emotional competence and aggressive behavior in school-age children – 1. Journal of Abnormal Child Psychology. http://findarticles.com/p/articles/mi_m0902/ is_1_31/ai_97891764. Diakses pada hari Kamis, 20 Desember 2007
Carr, A. (2001). Abnormal Psychology: Psychology Focus. East Sussex: Psychology Press.
Cartledge, G. & Milburn, J. F. (1995). Teaching social skills to children & youth: innovative approaches (3rd ed.) Massachussetts: Allyn and Bacon.
Goleman, D. (1996). Emotional Intelligence: Why it can matter than IQ. New York: Bantam Books.
Hetherington, E. M & Parke R. D. (1999). Child psychology: A contemporary view point. (5th ed.). Boston: Mc Graw-Hill College.
Jimerson, S. R., Caldwell, R., Chase, M. & Savarnejad, A. (2002). Conduct disorder. Santa Barbara: University of California.
Nataliani, Dessy. (21 Mei 2006). Memutus Rantai Kekerasan Antar Siswa (Membanding Indonesia dan Belanda). http://dessynataliani.blogsome. com/2006/ 05/21/. Diakses pada hari Minggu, 16 Desember 2007.
Neto, Aramis A Lopes. (2005). Bullying – Aggressive Behavior Among Students. Journal de Pediatri. Vol 81, No. 5 (Suppl), 164-172.
Rubin, K. H., Bukowski, W. & Parker, J. G. (1998). Peer interactions, relationship & groups. Dalam Damon, W. & Eisenberg, N. Handbook of child psychology. Volume 3 : Social, emotional and personality development (5th ed., hal. 619-700). New York: John Wiley and Sons, Inc.
Tremblay, Richard E (2000). The development of aggressive behavior during childhood: What have we learned in the past century?. International Journal of Behavioral Development. 24 (2), 128-141. SAGE Journals Online and Highwire Press platforms. http://jbd.sagepub.com/cgi/reprint/ 24/2/129. Diakses pada hari Rabu, 19 Desember 2007.
Tuckman, W. B. (1999). Conducting educational research: fifth Edition. USA: Harcourt Brace College Publishers.
O’Moore, M. Defining Violence: Towards a Pupil Based Definitions. http://www. comune.torino.it/novasres/_private/Violencedefinition.PDF. Diakses pada hari Kamis, 6 Desember 2007
Persson. (2005). Developmental perspectives on prosocial and aggressive motives in preschoolers’ peer interactions. International Journal of Behavioral Development. 29 (1), 80-91. SAGE Journals Online and Highwire Press platforms. http://jbd.sagepub.com/cgi/reprint/29/1/80. Diakses pada hari Rabu, 19 Desember 2007
Vitaro, Mara Brendgen, and Edward D. Barker. (2006). Subtypes of aggressive behaviors: A developmental perspective. International Journal of Beha-vioral Development. 2006, 30 (1). http://jbd.sagepub.com/ gi/reprint/ 30/1/12. diakses pada hari Selasa 18 Desember 2007.
Wilson, Sandra Jo and Mark W. Lipsey. (2003). The Effects of School-Based Intervention Programs on Aggressive Behavior: A Meta-Analysis. Journal of Consulting and Clinical Psychology. Vol. 71, No. 1, 136-149. http:// imagesrvr.epnet.com/embimages/pdh2/ccp/ccp711136.pdf. Diakses pada hari Minggu, 23 Desember 2007
Yanti, D. (2005). Keterampilan Sosial Pada Anak Menengah Akhir yang Mengalami Gangguan Perilaku. e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara. http://library.usu.ac.id/download/fk/psikologi-desvi%20 yanti.pdf. Diakses pada hari Minggu, 23 Desember 2007

Created by. Drs.M.Rakib.,S.H., M.Ag